Thursday, March 23, 2017

APA YANG TERJADI DENGAN OJEK ONLINE

Sikap tidak tegas pemerintah terkait keberadaan angkutan online menjadi pemicu bentrok antara sopir angkutan umum konvensional dengan pengemudi online.

Pengamat transportasi dari Universitas Tarumanegara Leksmono Suryo Putranto mengatakan, tidak ada yang mengira bila unjuk rasa sopir angkutan umum konvensional berujung pada konflik horizontal sesama pengemudi.  Menurut Leksmono, ini merupakan dampak dari belum adanya sikap tegas pemerintah terhadap perkembangan angkutan beraplikasi.

"Konflik horizontal ini sudah lama terjadi. Konflik hari ini cermin dari ketidaktahanan para sopir. Pemerintah harus segera bersikap tegas," kata Leksmono saat dihubungi Sindonews, Selasa (22/3/2016).

Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Transportasi Kota Jakarta (Libang DTKJ) itu menuturkan, hal yang mendasari konflik horizontal antar-pengemudi ini adalah ketidaksamaan tarif, bukan aplikasi. Sebab, sebelum adanya Uber, Grab dan sebagainya, sejumlah perusahaan taksi sudah mengadopsi aplikasi.

Artinya, kata dia, solusinya bukanlah menutup alikasi. Satu-satunya yang bisa dilakukan yakni menyamakan seluruh tarif, sehingga masyarakat tetap bisa diuntungkan.

"Pemerintah pusat atau daerah harus duduk bareng dengan Organda, Uber, Grab, dan sebagainya. Organda mengevaluasi tarif, ada yang dianggap kemahalan dipangkas. Uber, Grab dan sebagainya diberikan penawaran untuk menyamakan tarif yang telah dievaluasi. Kalau tidak mau ya larang Uber dan Grab beroperasi," ucapnya.

Sebelumnya diberitakan, tak terima sejumlah rekannya mendapatkan tindak kekerasan oleh oknum sopir taksi konvensional, puluhan pengemudi Go-Jek dan Grab Bike melakukan aksi sweeping di kawasan Taman Anggrek, Grogol Petamburan, Jakarta Barat
Puluhan ribu pengojek online setiap hari mondar-mandir di jalanan kota-kota besar di Indonesia. Lantas bagaimana bisa keberadaan ojek online, seperti Go-Jek, Grab Bike, Lady Bike, GrabTaxi, Ojek Jeger tumbuh subur di Republik ini?

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, meskipun aturan secara tegas menyebutkan bahwa sepeda motor bukanlah angkutan publik, nyatanya moda transportasi roda dua ini bisa menghasilkan pundi-pundi uang lewat layanan jasanya.

Ojek dianggap satu-satunya angkutan praktis yang bisa menerobos padatnya lalu lintas di kota-kota besar.

"Saat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merestui ojek online beroperasi di Jakarta, jumlah pengemudinya langsung bertambah terus. Akhirnya sudah kebablasan,
Dari data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), basis pengojek transportasi berbasis online telah menembus angka sekitar 20 ribu orang. Pengojek online ini tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bali dan lainnya.

"Makin kebablasan karena tidak ada tindakan tegas dari Kemenhub dan Kepolisian atas operasional ojek-ojek online. Padahal ojek bukan angkutan umum yang memenuhi standar keselamatan. Malah bikin ngeri," tegas Djoko.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Translate

Powered By Blogger

VIEW

Blog Archive